Cari

Selasa, 14 November 2017

Ananda, Penyambung Lidah Ahok

Dalam dinamika demokrasi, perbedaan seakan menjadi tiang penyangganya. Jika sebuah perbedaan dirobohkan, maka demokrasi akan ambruk dan hancur. Sebaliknya, Perbedaan yang kokoh akan membuat demokrasi menjadi kuat dan tidak mudah digoyahkan.

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan digunakan untuk sarana memecah belah rakyat, sudah ditunggangi kepentingan-kepentingan segelintir oknum, bahkan digunakan sebagai alasan untuk mengucilkan sebuah kelompok tertentu. Saya rasa jika wujud dari perbedaan sudah seperti itu, maka demokrasi sudah keluar dari relnya, sudah digoyahkan pondasinya dan tinggal menunggu saat saat runtuhnya demokrasi.

Mungkin saja hal itu juga yang menjadi beban pikiran Ananda Sukarlan, seseorang yang dalam beberapa hari terakhir menjadi sorotan media karena aksinya yang mengundang kontroversi. Jelas itu sebuah kontroversi, karena menyinggung mengenai perbedaan yang dalam tanda kutip membawa nama agama dan melibatkan orang nomer satu di DKI Jakarta, Anies Baswedan. Ananda melakukan aksi Walk Out (WO) saat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berpidato dalam rangka HUT Kolese Kanisius ke-90.

Aksi WOnya sangat fenomenal, Ananda yang mendapat Penghargaan Kanisius beserta empat almunni Kolese Kanisius lainnya duduk di kursi VIP yang berada di depan sehingga aksinya menarik perhatian tamu lainnya dan kemudian diikuti oleh ratusan alumni lain. Ananda menganggap bahwa penyelenggara mengundang tokoh yang mendapatkan jabatannya melalui cara-cara yang bertentangan dengan ajaran kanisius.

“Justru kita di Kanisius itu menghargai perbedaan. Jadi bukan menggunakan perbedaan itu sebagai bahan memecah belah.”

“(Penyelenggara) Kita telah mengundang seseorang yang mendapatkan jabatannya dengan cara-cara yang berbeda integritas dan nilai-nilainya dengan cara-cara yang diajarkan oleh kita semua di Kanisius,” ungkap Ananda di atas podium.

Mungkin saja apa yang dilakukan ananda dan sebagian hadirin merupakan bentuk dari rasa diskriminasi terhadap kaum minoritas yang bersumber dari pernyataan mantan gubernur DKI, Basuki Cahaya Purnama yang sempat tersandung kasus penistaan agama.

Aksi 411 ataupun 212 yang menamakan diri sebagai aksi bela Islam memang dianggap sebagai bentuk ekspresi dan ruh demokrasi. Namun kita jangan lupa, pelaksanaannya sangat dekat dengan Pemilihan Kepala Daerah DKI, rawan sekali dengan susupan dan muatan politik.

Yang saya khawatirkan adalah jika protes walk out ini masih merupakan indikasi ketidakmampuan untuk melupakan perihnya kekalahan. Bentuk lain dari luapan emosi dari mereka yang terkucilkan, tersakiti, dan terdiskriminasi atas kegaduhan mengenai kasus penistaan agama.

Saya sendiri mengapresiasi Anies yang masih kukuh dan legowo dengan apa yang telah dilakukan sebagain hadirin dalam peringatan HUT ke 90 Kolese Kanisius Jakarta. Sebuah sikap menghargai demokrasi dari seorang pemimpin yang terpilih dari suara mayoritas masyarakat.

Saya tentu juga mengapresiasi tindakan WO sebagian hadirin yang memprotes kehadiran sosok Anies Baswedan, dalam hal demokrasi itu adalah tindakan yang wajar dan biasa. Bahkan bisa menjadi tanda bahwa perbedaan pandangan masih dihargai.

Namun secara etika, saya tidak membenarkan hal tersebut. Seseorang yang sudah diundang, apalagi seorang pemimipin tetapi ketika ia hadir justru dibalas dengan tindakan WO. Lebih tepatnya ini merupakan demokrasi yang salah momen.

0 komentar:

Posting Komentar