Cari

The Lost World, Proyek Siluman di Lereng Merapi

Pembangunan The Lost World Castle yang berada di kawasan rawan bencana (KRB) dinyatakan telah melanggar peraturan. Bangunan megah tersebut dibangun sejak 2013 tanpa memiliki ijin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (DPMPPT) Kabupaten Sleman.

Kerak Telur, Jajanan Betawi Yang Mendulang Untung di Perayaan Sekaten

Kerak telur banyak dijajakan di Perayaan Pasar Malam Sekaten (PMPS) yang berlangsung mulai tanggal 10 November hingga 30 November di Alun-alun Utara Yogyakarta. Kurang lebih ada sekitar 20 penjual kerak telur yang memanfaatkan event besar ini untuk mencari uang.

Rahasia Dari TPST Piyungan

“Rasa kepuasan membuat orang miskin adalah seseorang yang kaya, sementara rasa ketidakpuasan membuat orang-orang kaya menjadi seorang yang miskin”, kutipan dari Benjamin Franklin yang terpatri dijiwa Kusmiantoro. Bukan keluhan yang selalu ia lontarkan.

Mengenalkan Kulon Progo Melalui Komunitas Bule Mengajar

“ingin bermanfaat bagi orang lain dan daerah”, sebuah prinsip yang terdengar sederhana.

Ahmad Rewo : Commfest Adalah Rangkaian Cara Yang Sangat Basgus

Ahmad Jihad Akbar Rewo mengatakan semoga acara ini terus ada kedepannya, karena ini adalah sebuah rangkaian acara yang sangat bagus dan bermanfaat.

Jumat, 22 Desember 2017

Fenomena Ziarah yang Tidak Pernah Luntur


Terang telah berganti gelap. Pada malam jumat di setiap minggunya, makam Tubagus Sulaiman tidak pernah sepi dipadati peziarah.
Makam Tubagus Sulaiman terletak di area Pantai Wartawan. Lebih tepatnya, tempat ini berada di gua bukit gunung Botak. Makam ini merupakan tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Lampung.
Semasa hidupnya, Tubagus Sulaiman adalah pengajar agama Islam yang suka berkeliling dari satu pulau ke pulau lain. Ia juga bisa disebut sebagai wali. Kawasan pantai Wartawan inilah yang menjadi tempat singgah pertamanya sebagai tujuan penyebaran agama Islam.
                                           
                                                        Murtado (27), warga sekitar pantai Wartawan

Murtado (27), warga sekitar pantai Wartawan mengatakan,  setiap malam jumat, tempat ini selalu dipadati pengunjung yang ingin berziarah. Para pengunjung itu berasal dari berbagai daerah, ada yang dari Banten, Aceh, Palembang, dan Bandung.
“Ya, biasanya tempat ini ramai untuk berziarah atau berdoa untuk mengabulkan permohonan” ungkapnya disela-sela kesibukannya.
Di sisi lain, sosiolog FISIP UPN Yogyakarta, Dr. Lukmono Hadi mengatakan fenomena ziarah massal ini tidak akan pernah luntur. Makam itu juga dianggap suci oleh sebagian masyarakat. Sebab, terdapat unsur-unsur yang mempengaruhi keimanan seseorang.
“Ziarah ke makam secara massal tidak akan pernah luntur, sebab itu merupakan bentuk perbuatan amaliah” ungkap mantan Dekan FISIP UPN Yogyakarta ini.
Tambah Lukmono, ziarah sudah dikemas dalam bentuk wisata religi. Wisata ini biasa dilakukan secara bersamaan melalui agen perjalanan untuk berkunjung ke makam-makam yang dikeramatkan. Sesuatu yang dikeramatkan ialah bentuk konstruksi sosial.
Lebih lanjut, Lukmono memberi acuan berdasar Teori Realitas Sosial oleh Peter Berger dan Thomas Luckman yang mengatakan dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Hal ini menimbulkan pandangan bahwa ziarah ke makam wali dan kyai sebagai wujud memperkuat kerohanian.
            Disamping itu juga, fenomena ziarah ini dipengaruhi oleh anggapan bahwa berdoa di makam yang disucikan dapat mengabulkan doa. Hal ini kemudian yang mendorong masyarakat beriringan datang ke makam.
“Mereka menginginkan harapan yang terkabul” tambah ayah satu anak itu.
Meski demikian, ketika disinggung mengenai masyarakt Indonesia yang percaya hal mistis, Lukmono menjelaskan berdasarkan pemikiran Auguste Comte ada tiga  tingkatan intelegensi manusia. Salah satunya adalah tingkatan teologis yang meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa, roh, atau Tuhan.
“Pemikiran ini menjadi dasar mutlak untuk menjelaskan segala fenonema yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional” tutupnya.


Perburuan Gading Gajah yang Tak Berarti




Pemberian makan yang di lakukan pengunjung
Populasi gajah yang semakin sedikit terus diburu oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini sering terjadi seiring pengamanan yang kurang ketat dan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakan peraturan. Di balik itu semua, kini ada salah satu sekolah khusus gajah untuk mendidiknya dengan benar.
Memang benar adanya jika ada tempat khusus untuk mendidik gajah. Namun, di lain sisihewan berbadan besar itu acap kali dijadikan sasaran perburuan liar. Gading gajah, menurut sebagian orang, dinilai memiliki berbagai fungsi. Padahal, gading gajah sebenarnya tidak memiliki fungsi. Perburuan yang dilakukan hanya untuk gengsi semata.


 
 Rudi Hartono, pemandu wisata Taman Nasional Way Kambas

 “Memang (gading gajah) tidak memiliki fungsi sama sekali. Orang-orang yang berburu gading gajah tidak jauh hanya untuk mencari gengsi, dan gadingnya cuma sebagai hiasan,” ungkap Rudi Hartono, pemandu wisata Taman Nasional Way Kambas.
Selain pengawasan yang kurang ketat untuk meminimalisir terjadinya perburuan satwa liar, sulitnya akses untuk menuju ke tempat gajah liar berada serta minimnya jumlah personil yang menjaga juga dikeluhkan oleh Rudi. “Kalau di sini aksesnya sulit dan jauh. Penjaganya juga sedikit sehingga kita kesulitan untuk menjaganya. Kalau sedikit seperti saat ini, kita tidak bisa melakukan pergantian jam berjaga. Biasanya waktu efektif berjaga satu minggu menetap di sana dengan mempersiapkan persiapan penjagaan seperti tenda dan logistik,” terang pria kelahiran Lampung tersebut.
Di provinsi Lampung, tingkat perburuan gading gajah tertinggi berada di Lampung Barat. Letaknya yang berada di daerah pegunungan serta akses menuju habitat gajah yang tergolong mudah, sehingga tidak heran jika perburuan di sana sering terjadi. Terakhir kali perbuatan keji dilakukan sekitar tahun 2000an, dengan memotong gading gajah menggunakan gergaji dan pelaku berhasil melarikan diri.
Untuk menghindari terjadinya perburuan satwa liar di Provinsi Lampung, pemerintah setempat melakukan upaya penataan habitat gajah yang terpecah. Upaya lain yang dilakukan adalah melakukan penangkapan gajah untuk direlokasi di Taman Nasional Way Kambas. Kemudian, gajah-gajah tersebut dididik serta dilatih untuk menyatu dengan manusia.
Hal senada juga disampaikan Mahfud Handoko, selaku kepala unit pendidikan dan pelatihan gajah. Pengamanan, pengawasan, serta penjagaan satwa liar dan fauna harus dilaksanakan untuk meminimalisasi terjadinya pemburuan, penjualan, serta pembelian gading gajah secara ilegal.
“Dengan adanya Taman Nasional Way Kambas ini bukan hanya sebagai pusat pelatihan gajah, namun untuk perkembangbiakan gajah secara baik agar tidak sering terjadi penangkapan gajah dan pemotongan gadingnya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” tukasnya saat ditemui di aula pertemuan Taman Nasional Way Kambas.


JEJAK SEJARAH SI PUTERA JAWA


Sejak dulu, kemiskinan memang tidak pernah lepas dari faktor kepadatan penduduk. Di permulaan abad keduapuluh, pemerintah Kolonial Belanda mulai menyadari hal tersebut, melihat lahan pertanian di Jawa tidak lagi mampu menampung para pekerja. Atas gagasan sang Ahli Hukum Belanda, Conrad Theodore van Deventer, tercetuslah tiga hal pokok yang menjadi prinsip dasar kebijaksanaan pemerintah kolonial di Hindia-Belanda, yakni pendidikan, irigasi dan imigrasi.
Orang-orang Jawa itu akhirnya bisa mengarungi laut lepas, tidak lagi memandang debur-debur ombak yang menghiasi Laut Kidul di selatan Jawa. November 1905, mereka mengikuti program yang dinamakan ‘Kolonisasi’, berjalan ke Kota Betawi dan menumpang kapal dari Tanjung Priok ke pelabuhan kecil di Teluk Betung. Bulan itu pula, pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di Sumatera, di daerah yang kala itu masih termasuk dalam wilayah Karesidenan Lampung. Tercatat, ada 155 Kepala Keluarga (KK) di Kedu, Jawa Tengah yang semuanya berasal dari golongan petani penggarap dipindahkan ke daerah Gedong Tataan di Lampung.

                                       

Eko Sunu Sutrisno SE, Kepala Seksi Pelayanan Museum Nasional Ketransmigrasian  Lampung,

Kepala Seksi Pelayanan Museum Nasional Ketransmigrasian  Lampung, Eko Sunu Sutrisno SE menceritakan dari Teluk Betung, ratusan orang Jawa itu berjalan kaki ke Gedong Tataan selama dua hari tanpa menggunakan moda transportasi. Mereka bermalam di jalan, di sebuah lokasi yang kini bernama Negeri Sakti.
“Total semuanya 155 KK yang berarti jumlah transmigran mencapai 815 orang,” paparnya. Sesampainya di daerah yang dituju, mereka tidak menyia-nyiakan waktu. Membuka lahan menjadi kegiatan utama yang dilakukan agar kepentingan pemerintah Belanda terkait wilayah pertanian cepat terpenuhi dan kebutuhan ekonomi keluarga melalui usaha bercocok tanam tidak dapat lagi ditunda. Bermodal empat bola besi dengan diameter 50 cm, lahan-lahan pertanian siap digarap setelah pohon-pohon dirobohkan.
Dalam pelaksanaannya selama masa kolonial, program transmigrasi dibagi menjadi empat tahap, yakni 1905-1911, 1912-1922, 1923-1932 hingga yang terakhir 1932-1942. Menurut Eko, setelah sukses memindahkan ratusan penduduk Jawa ke tanah Sumatera, pemerintah Kolonial Belanda terus menggerakkan transmigrasi. Bergelombang-gelombang kolonisten, sebutan bagi para transmigran di zaman itu, berdatangan ke Karesidenan Lampung. Menurut data Museum Nasional Ketransmigrasian, tahun berikutnya ada 550 KK asal Banyumas juga didatangkan, bersama dengan anggota keluarga yang dibawa, maka jumlah mereka mencapai 2.795 jiwa.
Melihat kolonisten yang terus bertambah, pemerintah Belanda mencari cara agar mereka betah dengan lingkungan baru. Sebagai perangsang, setiap KK diberi premi 20 gulden, disediakan alat-alat masak dan pertanian. Para transmigran juga diberi material untuk membangun rumah dan bahan makanan untuk dua tahun. Tidak hanya itu, mereka turut diberi keleluasaan untuk memberi nama wilayah yang ditempati sesuai dengan nama wilayah sebelumnya, saat mereka masih di Jawa.
"Usaha pemerintah Belanda saat itu cukup banyak agar transmigran merasa nyaman. Sebelumnya, mereka banyak yang enggak mau ke Sumatera karena khawatir dengan binatang buas yang kerap menerkam warga sebagaimana yang diberitakan media waktu itu. Jadi mereka dibebaskan ngasih nama wilayah bahkan diberi sangu," lanjut Eko. Oleh karena itu, jangan kaget jika ada nama tempat persis dengan daerah di Pulau Jawa, seperti Jepara di Kabupaten Lampung Timur, Wonosobo di Kabupaten Tanggamus, Sukoharjo di Kabupaten Pringsewu dan masih banyak lagi.
Transmigrasi menjadi salah satu peristiwa besar hasil gagasan pemerintah Belanda. Perpindahan ribuan masyarakat Jawa ke Sumatera untuk mencari kehidupan yang lebih baik cukup menarik perhatian sosiolog, sejarawan dan masyarakat biasa untuk meneliti atau sekedar mengetahui asal-asul nenek moyang. Dilandasi hal tersebut, Pemerintah Provinsi Lampung membangun sebuah landmark yang kini bisa dinikmati masyarakat umum, yakni Museum Nasional Ketransmigrasian.
Museum Nasional Ketransmigrasian didirikan pada 12 Desember 2004 di Jalan Ahmad Yani, Desa Bagelen, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Bangunan yang penuh dengan benda-benda bersejarah ini merupakan ide dari Prof Dr Ir Muhajir Utomo, yang kala itu merupakan Penasihat Pusat Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) dan juga Rektor Universitas Lampung. Museum ini sengaja diresmikan pada tanggal tersebut karena bertepatan dengan Hari Bhakti Transmigrasi ke 54. Kini, museum memiliki lebih dari 250 koleksi, diantaranya alat pertukangan, alat rumah tangga, alat pertanian, peralatan dapur, alat kesenian, alat penangkap ikan, foto-foto dokumentasi, pakaian adat dan musik serta masih banyak lagi.
                                                  
Bola besi besar yang berada di musium Lampung

Salah satu yang menarik perhatian adalah sebuah bola besi besar dengan diameter 50 cm. Bola yang juga diletakkan di Museum Lampung itu merupakan alat untuk merobohkan pohon karet di wilayah sekitar Bagelen. Itu juga termasuk fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Belanda dalam upayanya menarik perhatian lebih banyak masyarakat Jawa untuk ikut program transmigrasi.
"Bola itu ditarik pakai mesin, yang masih sederhana, enggak yang canggih, buat ngehancurin pohon-pohon karet. Pertama diisi air dulu sampai penuh, tutup, ditarik mesin, dibiarin saja biar gelinding," beber Eko. Ia melanjutkan selain bola besi, ada juga gerobak sapi yang tidak hanya digunakan untuk membajak sawah tetapi juga alat transportasi kolonisten. Berjalan ke belakang bangunan, pengunjung museum akan mendapati berbagai bentuk rumah, layaknya rumah di Jawa. Eko menuturkan bentuk-bentuk rumah, seperti anjungan Yogyakarta, Jawa Barat, Suriname, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk usaha Belanda agar kolonisten mau menempati tanah Sumatera lebih lama.
"Rumah-rumah ini dibuat seperti rumahnya di Jawa dulu, biar kerasan," ucapnya.  
Semakin lama, peserta transmigrasi merasa nyaman di tempat baru. Era masa depan disambut dengan kesiapan. Kini, cucu dan cicit mereka bisa menjadi bagian dalam sejarah bahwa pernah ada sebuah program pemerintah kolonial yang memindahkan ratusan ribu orang sebagai upaya menanggulangi kemiskinan. Mereka kemudian saling merekatkan relasi satu sama lain, berusaha mencari saudara di tanah baru dan mendirikan organisasi bernama Putera Jawa Keturunan Sumatera (Pujakesuma).




Muhaimin, Sekretaris Organisasi Pujakesuma

“Pujakesuma ini sebenarnya diambil dari nama kembang Wijaya Kesuma. Jadi tidak semata-mata putera jawa keturunan sumatera, lahir dan besar di sini, tapi ada cerita dibalik itu,” ujar Suharli Muhaimin, Sekretaris Organisasi Pujakesuma. Pertemuan di malam Selasa, lanjut Suharli, membuahkan ide untuk membentuk satu organisasi yang awalnya tidak diberi nama jelas. Namun, setelah melihat bunga Wijaya Kesuma yang tumbuh begitu cantik, tercetuslah nama pujakesuma hingga kini.
“Awal terbentuknya juga bukan di sini, tapi di Medan. Orang Jawa di Medan itu merasa termarjinalkan dengan istilah ‘Jawa Kontrak’ yang melekat pada diri mereka,” ceritanya lagi, Dari situ, muncul gagasan mengenai pembuatan organisasi solid lengkap dengan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Ia menambahkan jumlah anggota Pujakesuma kini cukup banyak. Pasalnya, satu keluarga bisa menjadi anggota dan kini, era transmigrasi telah melewati puluhan tahun. Tentu, keturunan transmigran golongan pertama bisa ambil bagian dalam organisasi tersebut.

“Kami sering mengadakan acara. Gelaran seni, wayang misalnya. Agar meningkatkan perekonomian warga. Dengan adanya event, maka pedagang kecil bisa datang dan menikmati keuntungan,” pungkas Suharli. 

Kain Tapis, Kian Tenar di Mata Dunia


Di tengah kuatnya arus globalisasi, sebuah perpaduan globalisasi dan lokalisasi muncul menjadi glokalisasi, menghadirkan nilai-nilai lokal untuk berkreasi di tingkat global. Produk-produk tradisi dapat diangkat ke dunia internasional sebagai bagian dari pertukaran kebudayaan.
Tidak terkecuali kain tapis Lampung. Kain yang bercorak benang emas ini kian menancapkan tajinya di dalam maupun luar negeri. Tercatat, puluhan agenda yang menampilkan kostum Indonesia banyak memilih kain tapis sebagai bahan utama maupun pelengkap busana. Salah satunya, Parade Pembukaan Olimpiade di Rio De Janeiro 2016 lalu dimana wakil ibu pertiwi, atlet renang Yessy Yosaputra, mengenakan busana adat Lampung, lengkap dengan juntaian kain tapis dan mahkota siger.
Adapula Elfin Pertiwi Rappa yang berhasil menyabet penghargaan The Best National Customes dalam perhelatan Miss International 2014 di Jepang karena kain khas Lampung itu. Tenunan kain tapis Lampung yang ia kenakan didesain ekstravagan dan indah sehingga terlihat berkelas.
                                   
Kain Tapis berbentuk  tas

Kain tradisional Lampung memiliki ciri khas, yakni sulaman benang emas. Menggunakan teknik tradisional, penenun menyulam setiap helai benang dengan motif lereng, gunung hingga Menara Siger, salah satu ikon provinsi tersebut.
"Kain tapis ini memang banyak diincar orang asing, biasanya yang dari Eropa," ujar Dewi, salah satu penenun tapis yang ditemui di Negeri Katon, Jumat (6/10/2017). Ia menceritakan keindahan kain tapis yang ditenun dengan teliti dan seksama ini juga mengundang niat warga negara Australia untuk melakukan penelitian. Selama satu bulan, sekitar bulan Maret, orang Australia tersebut berada di Negeri Katon untuk meneliti filosofi kain tapis.
"Ya, dia tertarik katanya, kain tapis kan ada filosofinya," paparnya. Zaman dulu, kaum bangsawan Lampung menggunakan kain tapis sebagai wujud kedudukan sosial. Namun, seiring perkembangan waktu, desakralisasi terjadi. Kain tapis menjadi barang profan dan sekunder, tetap digunakan untuk acara adat namun bisa juga menjadi komoditi pasar. Melihat kekaguman orang terhadap kain tapis, tentu tidak bisa dilewatkan sebagai salah satu warisan budaya yang juga mampu mengikuti selera pasar.
"Ivan Gunawan itu kalau beli tapis di sini, untuk keperluan rancangan busananya," tambah dia. Dewi mengatakan penenun kain tapis sudah menjadi bagian dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan mengikuti berbagai macam pameran.


"Bulan lalu habis dari Jakarta, ini sedang persiapan mau ke Singapura dulu," imbuhnya. Melihat kenyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri keindahan kain tapis mampu menyihir mata internasional. Penggunaan kain tapis Lampung pun bergeser yang sebelumnya digunakan hanya untuk acara adat. Kini kain tersebut bisa digunakan setiap hari seperti kaos, kemeja maupun kerajinan seperti clutch, bukan lagi berbentuk lembaran. 

KURNIAWAN Ikut Bangun Negara di Daerah Transmigran


Menjadi putera Jawa di tanah Sumatera mungkin adalah jawaban kehidupan yang lebih baik untuk keluarga besar Kurniawan. Keputusan sang bapak, Sunaryo untuk mengikuti program transmigrasi di tahun 1950 menjadi titik tolak sejarah keluarga yang berasal dari Sragen, Jawa Tengah tersebut.
“Tahun 1950-an, bapak dan ibu saya ikut program transmigrasi ke Lampung dari Sragen dengan iming-iming punya sawah yang bisa dikerjakan dan tidak lagi hidup miskin di Jawa,” ucapnya dalam perbicangan dengan Vagabondia. Pria yang akrab disapa Wawan itu menceritakan, di zaman tersebut, bapak dan ibu masih memiliki semangat jiwa muda untuk hidup lebih baik di tanah Sumatera. Mereka diberi sawah dan sejumlah tanah sebagai modal mencari kehidupan yang layak.
                                        
                   
 Kuriniawan Putra Jawa


“Ya, saya ingat, mereka punya sawah berapa hektar, kemudian tanah. Tanahnya dibuat rumah dari hasil nyawah, kemudian ekspansi terus hingga bisa mempekerjakan orang lain,” ucapnya. Di tahun 1955, Wawan yang menjadi anak pertama lahir. Ia menjadi salah satu dari ribuan putera Jawa keturunan Sumatera yang tinggal di Lampung. Sejak kecil, ia mengikuti aturan-aturan sosial yang berlaku di tempat dimana dirinya tinggal.
“Perbedaan mendasar, kalau saya, tidak merasakan, karena sejak lahir saya di Lampung, tinggal mengikuti yang ada saja,” ucapnya lagi. Namun, shock culture itu Wawan rasakan ketika harus menyambangi keluarga besarnya di Sragen, Jawa Tengah.
“Tahun 1980-an ya, saya ke Jawa lagi, justru merasa beda saja, ini bukan tempat saya. Saya memahami bahasa Jawa tapi tidak bisa membalasnya,” katanya sembari terkekeh. Ada rasa dalam dirinya untuk segera kembali ke Lampung, menikmati keseharian yang telah menjadi tradisi baginya. Akan tetapi, tidak berselang lama, ia merasa inilah Indonesia. Perbedaan budaya bukan sesuatu yang nista dan perlu dilestarikan.
“Yang paling kerasa itu tentang bahasa, yang lain tidak terlalu. Saya sadar juga, mereka yang di Jawa kan saudara saya, kenapa saya harus merasa enggak nyaman? Kita sedarah kok hanya takdirnya saya dan adik harus di Lampung, gitu saja,” paparnya lagi. Disinggung mengenai perekonomian di tanah rantau, Wawan mengakui kesempatan hidup di daerah transmigrasi memang lebih tinggi. Pasalnya, banyak hal yang bisa digunakan untuk menyambung kehidupan hingga kini.

“Saya ini juga penambang, duit saya buat saya belikan pantai, pantai saya kelola saya dapat keuntungan lagi, selain bisa membangun perekonomian daerah, ini membantu pemerintah yang belum sampai memikirkan destinasi wisata andalan di Lampung,” ungkap pria pemiliki Pantai Wartawan ini. Dengan begitu, ia merasa transmigrasi tidak semata-mata tentang perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga bagaimana ikut berkontribusi terhadap negara ini meski di tempat yang dulunya dianggap tidak semaju Jawa.
“Kalau orang pada senang ke pantai ini, otomatis ada banyak sektor yang harus diperhatikan, ya kuliner, ya kebersihan, belum lagi kalau ada pembangunan cottage, pegawai di bidang hospitaliti harus ada, itu diharap bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar,” imbuhnya.








LITTLE EUROPE Eropa Mini di Bandar Lampung

 
Miniature nelayan seperti di Eropa

Tidak banyak orang yang bisa bepergian ke Eropa. Jaraknya yang jauh dan tingginya biaya akomodasi menjadi salah satu alasan. Namun demikian, atmosfer keindahan benua itu tetap bisa kita rasakan tanpa harus menempuh penerbangan kurang lebih 12 jam, seperti yang dialami warga Bandar Lampung.
Salah satu pengembang kawasan perkotaan, Citra Garden membangun sebuah area di Bandar Lampung dengan ciri khas bangunan ala Eropa. Bangunan yang berdiri pada bulan Mei 2017 ini menarik perhatian masyarakat Lampung. Lokasi yang tak jauh dari kota dapat dijangkau dengan menggunakan mobil atau motor sekitar 15 menit.
“Little Europe ini termasuk baru dan terhitung ramai,” ujar Deka Railando salah satu pengunjung Little Europe, Kamis (5/10/2017). Ia menambahkan belakangan ini Little Europe menjadi tempat nongkrong asik di Bandar Lampung.
“Tiga bulan belakangan ini animo kawula muda cukup besar untuk mendatangi lokasi ini. Mereka berlomba mengabadikan momen mini Europe dan mengunggah foto di Instagram,” tambahnya.
Kawasan komersil yang berada di Jalan Dr Setiabudi No 170, Telukbetung Barat, Bandar Lampung tersebut didedikasikan pihak manajemen untuk masyarakat sebagai pusat hiburan dan kuliner. Di tempat ini, ada banyak spot foto menarik yang menjadi lokasi favorit para pengunjung. Salah satu diantaranya miniatur Menara Eiffel.
                                
                            
                                                                                            Miniatur Menara Eiffel

Jika Menara Eiffel asli memiliki tinggi 312,26 meter (atau 324 meter jika ditambah dengan antena). Little Europe memiliki miniatur Eiffel setinggi 6 meter. Walaupun terlihat kecil, dari segi warna pun menara ini mirip dengan bentuk aslinya. Tak heran, banyak pengunjung yang mengantri untuk mengabadikan momen di menara Eiffel mini.



Pemandangan seperti di Eropa

Selain itu, sudut amphitetaer yang ada di Little Europe juga menjadi sudut favorit pengunjung mengabadikan momen. Warna cat yang mencolok pun mampu menarik perhatian pengunjung sehingga mereka memilih Little Europe sebagai lokasi liburan murah yang tak jauh dari pusat kota.
Tak hanya Deka, Bonardo Ricardo pencinta fotografer memberikan kesan bahwa lokasi Little Europe bisa menjadi spot foto bagus. Menurutnya Little Europe sesuai untuk anak muda jaman sekarang yang mengikuti perkembangan.

 "Objek foto disini itu Instagramable, jadi sesuai lah sama anak muda sekarang yang sukanya mengunggah foto yang lucu-lucu, bagus-bagus dan mencolok mata,” tuturnya kepada Vagabondia. Laki-laki yang disapa Ardo mengutarakan jika lokasi ini tidak jauh dengan rumahnya.
            Tanpa merogoh kocek para pengunjung dapat menikmati suasana ala Eropa ini. Ingin ke Eropa? Tapi masih nabung? pemanasan dulu ke Little Europe.

Mengatasi Gegar Buadaya Transmigrasi Perlu Campur Tangan Pemerintah


Program transmigrasi sejak zaman kolonial memang berupaya untuk memerangi kemiskinan. Namun, perlu diketahui, transmigrasi tersebut pasti memiliki dampak, khususnya psikologi bagi orang-orang yang terlibat.
Menurut Ratih Anwar, SE, MSi, Pengamat Budaya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), adanya perpindahan sekelompok manusia satu ke daerah lain memiliki dampak cukup signifikan di bidang psikologi. Para transmigran tentu mengalami apa yang disebut shock culture atau gegar budaya. Mereka yang hidup bergelimang kemudahan menjadi sulit beradaptasi terhadap dunia baru.
“Gegar budaya memang kerap terjadi jika ada perpindahan,” bukanya ketika berbincang dengan Vagabondia. Ia menjelaskan, transmigrasi umumnya juga dilakukan dari tempat yang sudah maju, dari segi pemerintahan, ke tempat yang belum maju.
“Logikanya, kalau dari Jawa ke Lampung, Jawa lebih banyak orang, maka program pemerintahan bisa lebih maju, ada pembangunan. Berbeda dengan Lampung yang kala itu belum sepadat Jawa, maka pembangunan belum banyak,” paparnya lagi. Dengan begitu, muncul gegar budaya, yang biasanya mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, kini perlu bersusah sedikit. Dari segi kebudayaan, lanjut Ratih, Jawa dengan Lampung cukup berbeda. Maka, perlu adanya partisipasi aktif baik dari masyarakat Jawa yang pindah ke Lampung atau masyarakat Lampung sendiri untuk membuat relasi sosial mereka tidak mengalami banyak gesekan.
“Ya, kita tahu, Indonesia ini terbentuk dari berbagai macam suku dan ras. Perbedaan itu harus diatasi dengan toleransi,” katanya. Menurut teori, culture shock memiliki empat fase yang jika digambarkan akan berbentuk kurva, yakni fase optimis, fase krisis, fase recovery dan fase penyesuaian. Dalam fase optimis, sang transmigran pasti memiliki euforia untuk melihat tempat baru dan menjalani kehidupan baru. Kemudian dilanjutkan dengan fase masalah kultural yang dimana mereka akan menemui sejumlah masalah, seperti perbedaan bahasa, budaya, tata tertib lalu lintas hingga sistem sekolah.
“Di fase bermasalah ini, perlu adanya pikiran yang terbuka dari orang-orang Jawa yang pindah ke Lampung itu. Biasanya, di fase ini muncul kemarahan dan kekecewaan. Ketika sudah kecewa, maka sedikit saja ada yang mengganggu pikiran, emosi gampang tersulut, konflik terjadi,” ungkap Ratih. Apabila fase krisis bisa dilewati, maka para kolonisten itu bisa mengalami recovery dan penyesuaian.

“Perlu campur tangan pemerintah juga, apalagi di fase krisis. Rasa aman harus dihadirkan oleh pemerintah agar transmigran bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Gampangnya, krisis itu kan muncul karena kurang berkomunikasi, ini yang harus diperhatikan,” imbuhnya.
Dr Christina Rochayati MSi

Senada dengan Ratih, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Yogyakarta, Dr Christina Rochayati MSi mengungkapkan shock culture yang dirasakan transmigran Jawa di Lampung berbeda dengan para mahasiswa luar daerah kuliah di Yogya. Menurut Christina, transmigran harus menerima keadaan di Lampung apa adanya.
"Mereka memang menginginkan kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, khususnya untuk keturunan mereka kelak. Jadi, apa yang ada ya diterima saja," ujarnya. Ia menambahkan sejak zaman dahulu, orang Jawa terkenal dengan sifat <I>nriman<P> atau mau menerima keadaan. Orang Jawa, lanjut Christina, juga memiliki kemampuan beradaptasi lebih cepat.

"Seperti dalam buku yang saya baca, orang yang berpindah tempat seperti orang jawa, akan membawa budayanya misal wayang yang nanti ketika dimainkan menggunakan bahasa Melayu atau bahasa daerahnya sana, karena mereka tidak mengerti bahasa Jawa," tuturnya lagi. Dari situ muncul juga asimilasi budaya. (Bunga Kartikasari)