Cari

Minggu, 03 Desember 2017

Dilema Juru Parkir Dibalik Meriahnya Sekaten


Fotnewsid.blogspot.co.id – “Pekerjaan hebat tidak dilakukan dengan kekuatan, tapi dengan ketekunan dan kegigihan,” kata mutiara dari Samuel Jhonson tersebut mungkin tidak sepaham dengan apa yang dirasakan para juru parkir Sekaten tahun ini. Pekerjaan sebagai juru parkir kerap dipandang sebelah mata dan dianggap remeh oleh sebagian orang. Namun kenyataanya tidaklah demikian, apalagi menjadi juru parkir di acara sebesar Sekaten ini.

Penetapan Tarif Parkir Resmi

Tarif parkir pada Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) memang selalu menjadi buah bibir bagi para pengunjung dari tahun ketahun. Tidak sedikit pengunjung yang berkomentar melalui akun media sosialnya mengenai mahalnya tarif parkir Sekaten. Bahkan tidak sedikit pula yang mengeluhkan bahkan mencibir perkara tarif parkir yang dipukul rata menjadi Rp. 5.000 untuk kendaraan roda dua. Padahal pada cetakan resmi tertulis hanya senilai Rp. 2.000 dan ada pula yang Rp. 3.000.

Lahan parkir PMPS tahun ini dikelola oleh warga sekitar, hal itu secara langsung diungkapkan oleh Agus Arif selaku Camat Gondomanan. Meskipun dikelola oleh warga, tarif parkir Sekaten tetap diatur oleh perda. Secara resmi tarif parkir untuk kendaraan roda dua adalah Rp. 2.000 dan roda empat Rp. 10.000. Dengan adanya sosialisasi melalui berbagai media tentang tarif parkir resmi tersebut, tentu membuat masyarakat menganggap tarif tersebut pantas dan adil bagi mereka maupun pihak pengelola parkir.

Curahan Hati Si Juru Parkir

Berteduh dibalik tenda khas berwarna jingga dari rintik hujan yang tak kunjung reda, dengan segelas teh hangat diujung meja angkringan, disalah satu sudut PMPS. Gunawan (38) memandangi lahan parkirnya bersama teman-temannya hanya dipadati kekosongan. Hari itu memang hujan melanda Yogyakarta hampir satu hari penuh.

“Masih heran, kenapa ada saja yang tega menyindir kami para juru parkir ingin cepat naik haji hanya karena tarif parkir lima ribu,” celetupnya sembari tertawa dan menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

“Mereka (pengunjung) mungkin tidak pernah paham, susahnya, capeknya, dan sabarnya menjadi juru parkir disini. Mereka juga tidak pernah tahu apa yang kita rasakan sebagai juru parkir,” lepas lagi dari bibirnya yang tersenyum sembari menelan pahit cibiran pengunjung.

Menurut pria yang kerap disapa Gun tersebut harga yang diresmikan perda sangatlah tidak manusiawi. Ia menganggap apabila para juru parkir menggunakan tarif tersebut, maka mereka hanya pulang membawa hutang dari warung tempat mereka beristirahat. Karenanya, para juru parkir di Sekaten sepakat menyamakan harga parkir mereka menjadi lima ribu rupiah.

Gun mengatakan pola pembagian sewa lahan parkir di Sekaten adalah per 20 meter dipegang oleh satu tim dengan satu penanggung jawab. Dimana lahan sepanjang 20 meter itu mungkin hanya dapat menampung tidak lebih dari 50 unit sepeda motor, itupun sudah menggunakan usaha yang paling keras supaya dapat menampung sebanyak itu. Rata – rata setiap 20 meter digarap oleh 9 sampai 10 orang juru parkir. Belum lagi setor biaya sewa lahan perhari.

“Bayangkan saja lahan kami hanya 20 meter, yang pegang ada 10 orang. Kenapa 10 orang ? Coba saja sendiri, 10 orang pun lelahnya sudah tak karu karuan. Dalam lahan hanya seluas itu menampung beberapa puluh kendaraan, dan lebih beruntung lagi apa bila ada yang datang sore pulang tengah malam,  dan yang melakukan itu tidaklah sedikit. Saya sebagai penanggung jawab bingung membagi penghasilan karenanya,” tambah Gun.

“Saat ramai, katakanlah dari sore sudah mulai ramai parkiran. Namun, bisa dikatakan rata rata pengunjung yang berada didalam sekaten menghabiskan waktu lebih dari 2 jam bahkan ada yang sampai tutup. Apakah lima ribu sangat memberatkan ? Sepertinya memberatkan bagi kami saja, hahaha,” tawanya mengiringi curahan hatinya bersamaan dengan semakin deras hujan menerpa.

Dari balik meja angkringan Saptono (42) salah satu juru parkir dilahan Gunawan turut menyahut.

“Bagaimana lagi, penghasilan perhari yang tidak pernah lebih dari enam ratus ribu perhari, bahkan pernah hanya dua ratus ribu karena hujan seharian, dan masih dibagi sepuluh orang. Itupun nanti masih ditarik pajak penggunaan tiket oleh pemerintah dipenghujung Sekaten, belum lagi kita butuh makan dan minum selama parkir, uang lagi,” sahut Sapto.

Dari Sisi Lain

Dilema yang dirasakan para juru parkir tidaklah pernah diketahui pengunjung. Pengunjung hanya sudi menuntut harga parkir murah, karena fikirnya mereka hanya menitipkan sepeda motor. Pengunjung mungkin tidak berfikir, dengan adanya motor mereka disana itu menambah padat arus lalulintas, bahkan macet. Beruntung dengan susah payah para juru parkir merapihkan dan menata dengan sabar motor motor supaya teratur dan tidak memenuhi jalanan.

“Parkir Sekaten, tarif resmi Rp2000, di cetakan karcis Rp3000, trus diblok jadi Rp5000. Wong Jogja pancen kreatif banget ya, @JogjaUpdate,” cuitan dari akun @DanangRsilva.

“@JogjaUpdate coba lihat kreatif nya tukang parkir dari Rp3000. Di blok jd Rp5000 masa Alla,” tulis akun @JUAROHMAN12.


Beberapa komentar dari warganet melalui unggahan akun twitter @jogjaupdate.

Miris Merasakan Perkataan Satir Pengunjung

Gun dan Sapto hanyalah sampel dari seratus lebih juru parkir Sekaten yang merasakan cibiran dari keaktifan jemari pengunjung di media sosial. Mereka juga yang merupakan gambaran dari dua orang kepala keluarga yang menghabiskan hampir sebagian besar harinya hanya untuk membawa beberapa lembar pecahan uang yang tak bernilai tinggi. Bahkan tak jarang, mereka hanya pulang membawa hutang ngopi dan makan di warung karena pemasukan tidak cukup untuk menambalnya.

“Kita boro – boro dibilang ingin cepat naik haji dengan tarif parkir lima ribu. Buat uang jajan anak sekolah saja kita berfikir keras, dapur bisa masak saja sudah alhamdulillah,” ungkap Gunawan.

“Kami memang terkadang dapat penghasilan perorang hampir seratus ribu, itupun kalau cuaca bagus dan sangat ramai. Itupun kalau sirkulasi motor masuk dan keluarnya cepat, nah kalau satu motor berjam-jam parkir ?  Terus kalau hujan gini, kami hanya gigit jari hujan-hujanan tanpa pemasukan, yang ada malah pengeluaran,” tambahnya sembari menyeduh tehnya yang mulai dingin.

“Orang-orang datang berkunjung ke Sekaten untuk bersenang-senang, belanja, muter-muter 
sampai hafal rute dalam Sekaten. Tapi hanya karena lima ribu uang parkir saja sudah seperti dipalak preman pasar. Sampe sampe ada yang ingin lapor pemerintah. Apa ya masuk akal ?” tandas Gunawan dengan berharap orang-orang paham apa yang para juru parkir rasakan.

0 komentar:

Posting Komentar