Cari

Selasa, 31 Oktober 2017

Pemulihan kekerasan dari segi Psikologis


Kekerasan dalam dunia pendidikan di Yogyakarta semakin tahun semakin meningkat. Salah satu akibat dari tindakan kekerasan adalah trauma yang berkepanjangan. Cara mengatasinya adalah dengan keihklasan dari para korban. Para korban butuh waktu dalam proses pemulihan dari trauma.

 Drs. Koentjoro MBSc. Ph.D


              Banyak hal yang bisa kita ungkap dari suatu kekerasan jika saja para korban berani untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib dan kita juga dapat meminimalkan kekerasan yang terjadi khususnya di dunia pendidikan. Tidak sulit bagi kita untuk melihat bahwa orang itu korban dari kekerasan. Siapa saja bisa menjadi korban dari kekerasan. Korban kekerasan yaitu mereka yang lemah, lemah kedudukan sosial, karena itu dalam bidang hukum tumpul diatas tapi tajam dibawah,’’ ungkap Prof. Drs. Koentjoro MBSc. Ph.D salah satu dosen Fakultas Psikologi di Universitas Gadjah Mada. Perilaku korban kekerasan mudah diamati, perilaku itu meliputi agresi, penyalahgunaan obat dan perilaku melukai-diri, gangguan attention deficit hyperactivity Disorder), depresi dan bunuh diri, gangguan disosiasi, gangguan kecemasan dan posttraumatic stress disorder.
Pramuditya Ranutanta salah satu anak yang menjadi korban kekerasan. Dia mengalami luka jahitan di paha akibat lemparan botol saat dia mengikuti tawuran di sekolahnya.
Sebenarnya tawuran ini hanya tradisi kakak yang di turunkan kepada kami, dan kami hanya mengikutinya,’’ ungkap Ranu saat di wawancara. Akibat dari tawuran tersebut dia mengalami cemas, mimpi buruk saat tidur dan trauma. Trauma itu sampai saat ini masih ada, dia mencoba menghilangkan trauma tersebut dengan kegiatan sehari-harinya. Dia mencoba menggeluti hobinya dan dengan hal itu dia berharap melupakan masa kilam itu. Menurut Prof. Drs.Koentjoro dalam penyembuhan akibat trauma kekerasan bisa dilakukan dengan kebersyukuran, misalnya jika tawuran itu hampir merenggut nyawanya, dia masih hidup lalu bersyukur. Memaafkan itu juga terapi yang bisa dilakukan, jadi korban sudah memaafkan tindakan pelaku dan mengikhlaskan hal yang telah terjadi.
Pentingnya peran orangtua, dalam mengawasi kegiatan anaknya merupakan suatu hal utama. Dalam bentuk kekerasan yang lain, di jaga lisan dan tingkah laku jangan sampai orang sakit hati berarti secara tidak langsung kita mengajarkan anak kita untuk berempati,’’ ungkap Prof. Drs. Koentjoro.
Jika ada suatu kesempatan, disitu akan ada tindakan kekerasan. Dimanapun dan kapan saja kekerasan itu bisa terjadi. Motivasi tiap orang berbeda-beda dalam melakukan tindak kekerasan. Pelaku yang kebanyakan merupakan orang yang masih remaja. Pada masa remaja keinginan siswa untuk bergaul sangat besar dan kebanyakan dari mereka sulit untuk menyeleksi pergaulan. Kesetiaan teman merupakan faktor yang membuat siswa kesulitan untuk mencegah hal ini. Pelaku biasanya memanfaatkan situasi dan kondisi untuk melakukan aksinya.
Gonang
Agresi itu berupa penyerangan atau merusak. Dalam dunia psikologi ada sebuah teori bernama teori frustasi agresi. Semakin seseorang frustasi, maka semakin agresi. Gonang Tri Atmajaya ialah mantan salah satu anak geng terbesar di daeran Sleman
Yogyakarta, geng BBC  beranggota 40 anak dalam satu angkatan. Gonang mengatakan bahwa dalam perekrutan tidak ada unsur paksaan, BBC terbuka untuk semua siswa dan dari anggotapun diperbolehkan untuk mengajak temannya bergabung disini. Pada bulan pertama perekrutan keliatan siapa yang tetap di tongkrongan dan bulan keduanya mereka diajarkan untuk separing dengan kakak tingkat. Gonang sadar bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi ini merupakan motivasi turun-temurun dari kakak tingkat.
Pada saat tawuran mereka tidak merasa melakukan perbuatan salah, merasa tidak melanggar hukum dan tidak menyesali perbuatan tersebut. Kita bacok aja, malah senang. Saat kita tawuran harus dapat targetnya, jika tidak dapat malah nanti di separingkan lagi dengan kaka tingkat di BBC sendiri’’, ungkap Gonang. Dalam segi sekolah tidak ada dukungan dari guru. Alasan para guru tetap membiarkan, demi keamanan murid-muridnya. Saat suatu geng sekolah sudah besar, tingkat rawan yang ngelitih anak sekolah itu semakin sedikit.
Semakin kekerasan dibalas dengan kekerasan bisa terjadi tawuran dan perang, hal itu tak pernah selesai. Beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menghentikan kekerasan antara lain salah satu harus mengalah. Kedua, jangan sampai seseorang itu melakukan kekerasan. Kita harus mencegah, artinya saling menghormati satu sama lain, berempati, jika seperti itu kekerasan tak akan terjadi.
Kini, Gonang merupakan anak yang berhasil lepas dari kekerasan. Menginjak kelas 3 SMA, saat itu peran guru sangat berpengaruh. Salah satu guru badan konseling dari sekolahnya berhasil mengeluarkan Gonang dari hal tersebut. Saat itu Gonang diarahkan kepada hobinya, dan diberi tanggung jawab untuk menjalankan usaha pencucian motor. Saat membuka pencucian motor, perlahan minat saya untuk kelahi menghilang. Mending saya mencuci motor, karena dapat menghasilkan uang dibandingkan saya harus berkelahi lagi’’, ungkap Gonang.
Solusi untuk mencegah tindakan kekerasan dari Gonang selaku mantan pelaku ialah turuti hobi anak. Pada saat kelas 3, dia benar-benar berhenti dari tawuran karena Gonang memiliki  cucian motor. Gonang merasa sudah tidak nyaman lagi jika tawuran. “Dari segi kekerasan yang harus dibaikin di dunia pendidikan yaitu tentang pendekatan guru dan murid”, tutur Gonang tentang harapan dari dunia pendidikan.
            Sulit rasanya bagi kita, jika anak sendiri yang menjadi korban dari tindakan kekerasan. Tetapi inilah fakta yang terjadi di lapangan. Tindakan kekerasan bisa kita hadapi dengan cara diam atau lawan kekerasan itu. Berbagai macam cara yang dapat kita lakukan jika ingin menyelesaikan tindakan kekerasan hingga ke akarnya. “Solusi itu antara lain pertama, berani berbicara melalui perasaan dengan permasalahan yang ada dikupas satu-satu agar tidak ada asumsi yang tidak tepat dan menimbulkan kekerasan. Kedua, jadilah pendengar yang baik, mungkin mendengarkan terkesan sepele tapi itulah yang dibutuhkan manusia sebagai tempat pertolongan terakhir saat terjatuh. Ketiga, memaafkan itu obat dari luka hati dan yang terakhir regulasi memang harus ditegaskan kembali terutama mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan”, tutur Niken Karolus selaku aktivis anti kekerasan.

Natasha Heidi, selama 9 tahun dia menjadi korban bullying. Dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya karena status sosial dan status kesehatannya. “Orangtua terlalu fokus dengan pekerjaan dan akhirnya jadi mudah percaya dengan fitnahan teman daripada aku, akhirnya malamnya aku niat bunuh diri,’’ ungkap Sasa. Sasa hampir bunuh diri karena tidak sanggup menjadi korban bullying.
Memang tidak mudah bagi Natasha Heidi melewati kejadian kekerasan yang menimpa dirinya. Tetapi, Sasa merasa dia diberikan lingkungan yang membantunya untuk lebih mendekatkan diri kepadanya Tuhan. Melalui proses mengenai Tuhan, dia mengalami banyak pemulihan. Melalui proses panjang dalam  jalannya mengenal Tuhan, Sasa saat itu sadar bahwa aku belum maafkan teman-teman yang telah menyakitinya. “Jika kita belum dapat memaafkan, maka luka itu tidak akan sembuh. Setelah aku memaafkan mereka, I feel free from that burdem. I'm healed already,’’ ungkap Natasha Heidi.
Inti dari penyembuhan psikologis akibat kekerasan ialah sebuah keikhlasan. Kejadian masa lalu kita buat sebagai pelajaran agar tidak teulang lagi di masa depan baik bagi kita sendiri muapun pelajaran bagi oranglain agar tidak mengalami hal tersebut. Kita sebagai makhluk sosial dapat mencegah sebuah kekerasan, salah satunya dengan menghargai satu dengan yang lainnya. Dengan kemajuan zaman kita harus dapat berpikir secara terbuka dan kedepan, jangan hanya mengandalkan emosi sesaat kita saja.

 (Rio Adhitia Rakhman)

0 komentar:

Posting Komentar