Kekerasan dalam dunia
pendidikan di Yogyakarta semakin tahun semakin meningkat. Salah satu akibat dari tindakan kekerasan
adalah trauma yang berkepanjangan. Cara mengatasinya adalah dengan keihklasan
dari para korban. Para korban butuh waktu dalam proses pemulihan dari trauma.
Banyak hal yang bisa kita ungkap dari suatu kekerasan jika saja para korban berani untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib dan kita juga dapat meminimalkan kekerasan yang terjadi khususnya di dunia pendidikan. Tidak sulit bagi kita untuk melihat bahwa orang itu korban dari kekerasan. “Siapa saja bisa menjadi korban dari kekerasan. Korban kekerasan yaitu mereka yang lemah, lemah kedudukan sosial, karena itu dalam bidang hukum tumpul diatas tapi tajam dibawah,’’ ungkap Prof. Drs. Koentjoro MBSc. Ph.D salah satu dosen Fakultas Psikologi di Universitas Gadjah Mada. Perilaku korban kekerasan mudah diamati, perilaku itu meliputi agresi, penyalahgunaan obat dan perilaku melukai-diri, gangguan attention deficit hyperactivity Disorder), depresi dan bunuh diri, gangguan disosiasi, gangguan kecemasan dan posttraumatic stress disorder.
Pramuditya
Ranutanta salah satu anak yang menjadi korban kekerasan. Dia mengalami luka jahitan di paha akibat lemparan botol saat dia mengikuti tawuran di sekolahnya.
Pentingnya
peran orangtua, dalam mengawasi kegiatan anaknya merupakan suatu hal utama. “Dalam
bentuk kekerasan yang lain, di jaga lisan dan tingkah laku jangan sampai orang
sakit hati berarti secara tidak langsung kita mengajarkan anak kita untuk
berempati,’’ ungkap Prof. Drs. Koentjoro.
Jika
ada suatu kesempatan, disitu akan ada tindakan kekerasan. Dimanapun dan kapan
saja kekerasan itu bisa terjadi. Motivasi tiap orang berbeda-beda dalam
melakukan tindak kekerasan. Pelaku yang kebanyakan merupakan orang yang masih
remaja. Pada masa remaja keinginan siswa untuk bergaul sangat besar dan kebanyakan
dari mereka sulit untuk menyeleksi pergaulan. Kesetiaan teman merupakan faktor
yang membuat siswa kesulitan untuk mencegah hal ini. Pelaku biasanya
memanfaatkan situasi dan kondisi untuk melakukan aksinya.
Agresi
itu berupa penyerangan atau merusak. Dalam dunia psikologi ada sebuah teori
bernama teori frustasi agresi. Semakin seseorang frustasi, maka semakin agresi.
Gonang Tri Atmajaya ialah mantan salah satu anak geng terbesar di daeran Sleman
Yogyakarta,
geng BBC beranggota 40 anak dalam satu angkatan.
Gonang mengatakan bahwa dalam perekrutan tidak ada unsur paksaan, BBC terbuka
untuk semua siswa dan dari anggotapun diperbolehkan untuk mengajak temannya
bergabung disini. Pada bulan pertama perekrutan keliatan siapa yang tetap di
tongkrongan dan bulan keduanya mereka diajarkan untuk separing dengan kakak
tingkat. Gonang sadar bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi ini merupakan
motivasi turun-temurun dari kakak tingkat.
Pada
saat tawuran mereka tidak merasa melakukan perbuatan salah, merasa tidak
melanggar hukum dan tidak menyesali perbuatan tersebut. “Kita
bacok aja, malah senang. Saat kita tawuran harus dapat targetnya, jika tidak
dapat malah nanti di separingkan lagi dengan kaka tingkat di BBC sendiri’’, ungkap
Gonang. Dalam segi sekolah tidak ada dukungan dari guru. Alasan para guru tetap
membiarkan, demi keamanan murid-muridnya. Saat suatu geng sekolah sudah besar,
tingkat rawan yang ngelitih anak sekolah itu semakin sedikit.
Semakin
kekerasan dibalas dengan kekerasan bisa terjadi tawuran dan perang, hal itu tak
pernah selesai. Beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menghentikan
kekerasan antara lain salah satu harus mengalah. Kedua, jangan sampai seseorang
itu melakukan kekerasan. Kita harus mencegah, artinya saling menghormati satu
sama lain, berempati, jika seperti itu kekerasan tak akan terjadi.
Kini,
Gonang merupakan anak yang berhasil lepas dari kekerasan. Menginjak kelas 3
SMA, saat itu peran guru sangat berpengaruh. Salah satu guru badan konseling
dari sekolahnya berhasil mengeluarkan Gonang dari hal tersebut. Saat itu Gonang
diarahkan kepada hobinya, dan diberi tanggung jawab untuk menjalankan usaha
pencucian motor. “Saat membuka pencucian motor, perlahan minat saya
untuk kelahi menghilang. Mending saya mencuci motor, karena dapat menghasilkan
uang dibandingkan saya harus berkelahi lagi’’, ungkap Gonang.
Solusi
untuk mencegah tindakan kekerasan dari Gonang selaku mantan pelaku ialah turuti
hobi anak. Pada saat kelas 3, dia benar-benar berhenti dari tawuran karena
Gonang memiliki cucian motor. Gonang
merasa sudah tidak nyaman lagi jika tawuran. “Dari segi kekerasan yang harus
dibaikin di dunia pendidikan yaitu tentang pendekatan guru dan murid”, tutur
Gonang tentang harapan dari dunia pendidikan.
Sulit rasanya bagi kita, jika anak
sendiri yang menjadi korban dari tindakan kekerasan. Tetapi inilah fakta yang
terjadi di lapangan. Tindakan kekerasan bisa kita hadapi dengan cara diam atau lawan kekerasan itu. Berbagai macam cara
yang dapat kita lakukan jika ingin menyelesaikan tindakan kekerasan hingga ke
akarnya. “Solusi itu antara lain pertama, berani
berbicara melalui perasaan dengan permasalahan yang ada dikupas satu-satu agar
tidak ada asumsi yang tidak tepat dan menimbulkan kekerasan. Kedua, jadilah
pendengar yang baik, mungkin mendengarkan terkesan sepele tapi itulah yang
dibutuhkan manusia sebagai tempat pertolongan terakhir saat terjatuh. Ketiga,
memaafkan itu obat dari luka hati dan yang terakhir regulasi memang harus
ditegaskan kembali terutama mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan”, tutur
Niken Karolus selaku aktivis anti kekerasan.
Natasha Heidi, selama 9 tahun dia menjadi korban bullying. Dia
mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya karena status sosial
dan status kesehatannya. “Orangtua terlalu fokus dengan pekerjaan dan akhirnya
jadi mudah percaya dengan fitnahan teman daripada aku, akhirnya malamnya aku
niat bunuh diri,’’ ungkap
Sasa. Sasa hampir bunuh diri karena tidak sanggup menjadi korban bullying.
Memang tidak mudah bagi Natasha Heidi melewati kejadian kekerasan
yang menimpa dirinya. Tetapi, Sasa merasa dia diberikan lingkungan yang
membantunya untuk lebih mendekatkan diri kepadanya Tuhan. Melalui proses
mengenai Tuhan, dia mengalami banyak pemulihan. Melalui proses panjang
dalam jalannya mengenal Tuhan, Sasa saat
itu sadar bahwa aku belum maafkan teman-teman yang telah menyakitinya. “Jika
kita belum dapat memaafkan, maka luka itu tidak akan sembuh. Setelah aku
memaafkan mereka, I feel free from that
burdem. I'm healed already,’’ ungkap
Natasha Heidi.
Inti dari penyembuhan psikologis akibat kekerasan ialah sebuah
keikhlasan. Kejadian masa lalu kita buat sebagai pelajaran agar tidak teulang
lagi di masa depan baik bagi kita sendiri muapun pelajaran bagi oranglain agar
tidak mengalami hal tersebut. Kita sebagai makhluk sosial dapat mencegah sebuah
kekerasan, salah satunya dengan menghargai satu dengan yang lainnya. Dengan
kemajuan zaman kita harus dapat berpikir secara terbuka dan kedepan, jangan
hanya mengandalkan emosi sesaat kita saja.
(Rio Adhitia Rakhman)
0 komentar:
Posting Komentar