Saat kumandang Adzan bergema di langit Yogyakarta, seorang pria paruh baya sedang lahap menikmati makan siangnya disebuah warung makan di sekitar jembatan Janti dengn lauk yang sederhana di tambah dengan es teh sebagai pelepas dahaga. Nampak wajah dan kaosnya dibasahi keringat karena teriknya sinar matahari siang itu.
Lalu lintas di Yogyakarta semakin tahun kian padat, tak terkecuali di daerah Jembatan layang Janti yang menjadi penghubung Yogyakarta menuju Jawa tengah dan Jawa timur, otomatis bus-bus besar banyak melewati Jembatan layang Janti, sehingga memberikan potensi ekonomi yang baik, disekitar jembatan terdapat warung makan, tambal ban, agen travel dan tempat perbelanjaan.
Hal ini memberikan keberkahan tersendiri bagi Sumardiyono Mangunkaryo (56 Tahun) warga Caturtunggal, Depok, Sleman, yang memiliki sebuah tanah warisan dari sang kakek di tepi jalan Janti yang kemudian dibangun menjadi toilet umum. Toilet yang dibuka pada tahun 2004 dan memiliki 3 kamar mandi ini kerap kali digunakan oleh para penumpang bus dari luar kota yang berhenti atau transit sementara, karena toilet selalu dibutuhkan oleh siapapun dan kebutuhan tersebut tidak dapat diwakilkan siapapun. Toilet milik pak Sumardiyono buka mulai dari selepas subuh hingga pukul 22.00 malam dan memiliki tarif Rp. 3000 untuk buang air besar dan kecil, sedangkan untuk mandi dikenai biaya Rp. 5000. Pak Sumardiyono sebelumnya adalah pengemudi taksi yang selepas pembangunan jembatan Janti pada 1997 berhenti dari aktivitasnya mengemudikan taksi, karena tidak tertatanya taksi-taksi diseputaran jembatan Janti, dan membuatnya harus mencari pekerjaan lain.
Pak Sumardiyono merupakan lulusan STM dan memiliki dua orang putra dan satu orang putra , serta dua orang cucu menggantungkan hidupnya dari jasanya membuka toilet umum. “Ya Alhamdulillah nak, dari sini saya bisa menyekolahkan tiga anak saya,” ujarnya. Dari usahanya tersebut, pak Sumardiyono dapat mendapatkan penghasilan bersih Rp. 50.000, namun terkadang ada penumpang yang memberi kurang dari harga yang dipatok. Segala jenis penumpang sudah diketahui oleh beliau, hingga terkadang kejadian lucu kerap terjadi. “Kadang berak ada yang tidak diguyur, apalagi tuna netra. Kadang saya tidak kuat, jadinya tidak saya guyur,” tutur pak Sumardiyono yang diakhiri dengan gelak tawa. Beliau juga menceritakan bahwa orang Papualah yang memiliki kesopanan dan terkadang justru memberi uang lebih dan orang jawa yang terkenal ramah justru kersp tidak memberikan contoh sopan santun yang baik. “Jangan dilihat dari luarnya, orang timur justru sebelum saya berterimakasih, dia lebih dulu mengucapkannya. Berbeda dengan orang-orang disini yang kadang ‘nunut’ duduk pun tidak minta ijin dan pergi seenaknya,”
Diakhir pembicaraan pak Sumardiyono menitipkan pesan kepada seluruh anak muda dan generasi penerus bangsa agar tidak tejermus kedalam gelapnya masa depan, dengan berhati-hati dengan lingkungan dimanapun berada dan selektiflah dalam memilih pergaulan, karena yang tahu baik buruknya adalah pribadi masing-masing. Beliau juga mengatakan bahwa setiap orang tua memberikan kepercayaan yang besar pada anaknya, jadi jangan sis-siakan kepercayaan tersebut yang dapat melukai hati orang tua yang akan menjauhkan kita dari kesuksesan, karena pintu kesuksesan di dorong pula oleh doa dari kedua orang tua. Dan pesan terakhir beliau adalah saat sukses nanti janganlah menjadi orang yang arogan dan bersikap apatis kepada lingkungannya, bangunlah lingkungan yang telah membesarkan kalian, bantulah orang-orang yang membutuhkan dan jangan sekali-kali melakukan korupsi, karena akan menjatuhkn nama baik dan akan merugikan orang banyak.
0 komentar:
Posting Komentar