Cari

Jumat, 22 Desember 2017

JEJAK SEJARAH SI PUTERA JAWA


Sejak dulu, kemiskinan memang tidak pernah lepas dari faktor kepadatan penduduk. Di permulaan abad keduapuluh, pemerintah Kolonial Belanda mulai menyadari hal tersebut, melihat lahan pertanian di Jawa tidak lagi mampu menampung para pekerja. Atas gagasan sang Ahli Hukum Belanda, Conrad Theodore van Deventer, tercetuslah tiga hal pokok yang menjadi prinsip dasar kebijaksanaan pemerintah kolonial di Hindia-Belanda, yakni pendidikan, irigasi dan imigrasi.
Orang-orang Jawa itu akhirnya bisa mengarungi laut lepas, tidak lagi memandang debur-debur ombak yang menghiasi Laut Kidul di selatan Jawa. November 1905, mereka mengikuti program yang dinamakan ‘Kolonisasi’, berjalan ke Kota Betawi dan menumpang kapal dari Tanjung Priok ke pelabuhan kecil di Teluk Betung. Bulan itu pula, pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di Sumatera, di daerah yang kala itu masih termasuk dalam wilayah Karesidenan Lampung. Tercatat, ada 155 Kepala Keluarga (KK) di Kedu, Jawa Tengah yang semuanya berasal dari golongan petani penggarap dipindahkan ke daerah Gedong Tataan di Lampung.

                                       

Eko Sunu Sutrisno SE, Kepala Seksi Pelayanan Museum Nasional Ketransmigrasian  Lampung,

Kepala Seksi Pelayanan Museum Nasional Ketransmigrasian  Lampung, Eko Sunu Sutrisno SE menceritakan dari Teluk Betung, ratusan orang Jawa itu berjalan kaki ke Gedong Tataan selama dua hari tanpa menggunakan moda transportasi. Mereka bermalam di jalan, di sebuah lokasi yang kini bernama Negeri Sakti.
“Total semuanya 155 KK yang berarti jumlah transmigran mencapai 815 orang,” paparnya. Sesampainya di daerah yang dituju, mereka tidak menyia-nyiakan waktu. Membuka lahan menjadi kegiatan utama yang dilakukan agar kepentingan pemerintah Belanda terkait wilayah pertanian cepat terpenuhi dan kebutuhan ekonomi keluarga melalui usaha bercocok tanam tidak dapat lagi ditunda. Bermodal empat bola besi dengan diameter 50 cm, lahan-lahan pertanian siap digarap setelah pohon-pohon dirobohkan.
Dalam pelaksanaannya selama masa kolonial, program transmigrasi dibagi menjadi empat tahap, yakni 1905-1911, 1912-1922, 1923-1932 hingga yang terakhir 1932-1942. Menurut Eko, setelah sukses memindahkan ratusan penduduk Jawa ke tanah Sumatera, pemerintah Kolonial Belanda terus menggerakkan transmigrasi. Bergelombang-gelombang kolonisten, sebutan bagi para transmigran di zaman itu, berdatangan ke Karesidenan Lampung. Menurut data Museum Nasional Ketransmigrasian, tahun berikutnya ada 550 KK asal Banyumas juga didatangkan, bersama dengan anggota keluarga yang dibawa, maka jumlah mereka mencapai 2.795 jiwa.
Melihat kolonisten yang terus bertambah, pemerintah Belanda mencari cara agar mereka betah dengan lingkungan baru. Sebagai perangsang, setiap KK diberi premi 20 gulden, disediakan alat-alat masak dan pertanian. Para transmigran juga diberi material untuk membangun rumah dan bahan makanan untuk dua tahun. Tidak hanya itu, mereka turut diberi keleluasaan untuk memberi nama wilayah yang ditempati sesuai dengan nama wilayah sebelumnya, saat mereka masih di Jawa.
"Usaha pemerintah Belanda saat itu cukup banyak agar transmigran merasa nyaman. Sebelumnya, mereka banyak yang enggak mau ke Sumatera karena khawatir dengan binatang buas yang kerap menerkam warga sebagaimana yang diberitakan media waktu itu. Jadi mereka dibebaskan ngasih nama wilayah bahkan diberi sangu," lanjut Eko. Oleh karena itu, jangan kaget jika ada nama tempat persis dengan daerah di Pulau Jawa, seperti Jepara di Kabupaten Lampung Timur, Wonosobo di Kabupaten Tanggamus, Sukoharjo di Kabupaten Pringsewu dan masih banyak lagi.
Transmigrasi menjadi salah satu peristiwa besar hasil gagasan pemerintah Belanda. Perpindahan ribuan masyarakat Jawa ke Sumatera untuk mencari kehidupan yang lebih baik cukup menarik perhatian sosiolog, sejarawan dan masyarakat biasa untuk meneliti atau sekedar mengetahui asal-asul nenek moyang. Dilandasi hal tersebut, Pemerintah Provinsi Lampung membangun sebuah landmark yang kini bisa dinikmati masyarakat umum, yakni Museum Nasional Ketransmigrasian.
Museum Nasional Ketransmigrasian didirikan pada 12 Desember 2004 di Jalan Ahmad Yani, Desa Bagelen, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Bangunan yang penuh dengan benda-benda bersejarah ini merupakan ide dari Prof Dr Ir Muhajir Utomo, yang kala itu merupakan Penasihat Pusat Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) dan juga Rektor Universitas Lampung. Museum ini sengaja diresmikan pada tanggal tersebut karena bertepatan dengan Hari Bhakti Transmigrasi ke 54. Kini, museum memiliki lebih dari 250 koleksi, diantaranya alat pertukangan, alat rumah tangga, alat pertanian, peralatan dapur, alat kesenian, alat penangkap ikan, foto-foto dokumentasi, pakaian adat dan musik serta masih banyak lagi.
                                                  
Bola besi besar yang berada di musium Lampung

Salah satu yang menarik perhatian adalah sebuah bola besi besar dengan diameter 50 cm. Bola yang juga diletakkan di Museum Lampung itu merupakan alat untuk merobohkan pohon karet di wilayah sekitar Bagelen. Itu juga termasuk fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Belanda dalam upayanya menarik perhatian lebih banyak masyarakat Jawa untuk ikut program transmigrasi.
"Bola itu ditarik pakai mesin, yang masih sederhana, enggak yang canggih, buat ngehancurin pohon-pohon karet. Pertama diisi air dulu sampai penuh, tutup, ditarik mesin, dibiarin saja biar gelinding," beber Eko. Ia melanjutkan selain bola besi, ada juga gerobak sapi yang tidak hanya digunakan untuk membajak sawah tetapi juga alat transportasi kolonisten. Berjalan ke belakang bangunan, pengunjung museum akan mendapati berbagai bentuk rumah, layaknya rumah di Jawa. Eko menuturkan bentuk-bentuk rumah, seperti anjungan Yogyakarta, Jawa Barat, Suriname, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk usaha Belanda agar kolonisten mau menempati tanah Sumatera lebih lama.
"Rumah-rumah ini dibuat seperti rumahnya di Jawa dulu, biar kerasan," ucapnya.  
Semakin lama, peserta transmigrasi merasa nyaman di tempat baru. Era masa depan disambut dengan kesiapan. Kini, cucu dan cicit mereka bisa menjadi bagian dalam sejarah bahwa pernah ada sebuah program pemerintah kolonial yang memindahkan ratusan ribu orang sebagai upaya menanggulangi kemiskinan. Mereka kemudian saling merekatkan relasi satu sama lain, berusaha mencari saudara di tanah baru dan mendirikan organisasi bernama Putera Jawa Keturunan Sumatera (Pujakesuma).




Muhaimin, Sekretaris Organisasi Pujakesuma

“Pujakesuma ini sebenarnya diambil dari nama kembang Wijaya Kesuma. Jadi tidak semata-mata putera jawa keturunan sumatera, lahir dan besar di sini, tapi ada cerita dibalik itu,” ujar Suharli Muhaimin, Sekretaris Organisasi Pujakesuma. Pertemuan di malam Selasa, lanjut Suharli, membuahkan ide untuk membentuk satu organisasi yang awalnya tidak diberi nama jelas. Namun, setelah melihat bunga Wijaya Kesuma yang tumbuh begitu cantik, tercetuslah nama pujakesuma hingga kini.
“Awal terbentuknya juga bukan di sini, tapi di Medan. Orang Jawa di Medan itu merasa termarjinalkan dengan istilah ‘Jawa Kontrak’ yang melekat pada diri mereka,” ceritanya lagi, Dari situ, muncul gagasan mengenai pembuatan organisasi solid lengkap dengan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Ia menambahkan jumlah anggota Pujakesuma kini cukup banyak. Pasalnya, satu keluarga bisa menjadi anggota dan kini, era transmigrasi telah melewati puluhan tahun. Tentu, keturunan transmigran golongan pertama bisa ambil bagian dalam organisasi tersebut.

“Kami sering mengadakan acara. Gelaran seni, wayang misalnya. Agar meningkatkan perekonomian warga. Dengan adanya event, maka pedagang kecil bisa datang dan menikmati keuntungan,” pungkas Suharli. 

0 komentar:

Posting Komentar