Cari

Jumat, 22 Desember 2017

Mengatasi Gegar Buadaya Transmigrasi Perlu Campur Tangan Pemerintah


Program transmigrasi sejak zaman kolonial memang berupaya untuk memerangi kemiskinan. Namun, perlu diketahui, transmigrasi tersebut pasti memiliki dampak, khususnya psikologi bagi orang-orang yang terlibat.
Menurut Ratih Anwar, SE, MSi, Pengamat Budaya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), adanya perpindahan sekelompok manusia satu ke daerah lain memiliki dampak cukup signifikan di bidang psikologi. Para transmigran tentu mengalami apa yang disebut shock culture atau gegar budaya. Mereka yang hidup bergelimang kemudahan menjadi sulit beradaptasi terhadap dunia baru.
“Gegar budaya memang kerap terjadi jika ada perpindahan,” bukanya ketika berbincang dengan Vagabondia. Ia menjelaskan, transmigrasi umumnya juga dilakukan dari tempat yang sudah maju, dari segi pemerintahan, ke tempat yang belum maju.
“Logikanya, kalau dari Jawa ke Lampung, Jawa lebih banyak orang, maka program pemerintahan bisa lebih maju, ada pembangunan. Berbeda dengan Lampung yang kala itu belum sepadat Jawa, maka pembangunan belum banyak,” paparnya lagi. Dengan begitu, muncul gegar budaya, yang biasanya mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, kini perlu bersusah sedikit. Dari segi kebudayaan, lanjut Ratih, Jawa dengan Lampung cukup berbeda. Maka, perlu adanya partisipasi aktif baik dari masyarakat Jawa yang pindah ke Lampung atau masyarakat Lampung sendiri untuk membuat relasi sosial mereka tidak mengalami banyak gesekan.
“Ya, kita tahu, Indonesia ini terbentuk dari berbagai macam suku dan ras. Perbedaan itu harus diatasi dengan toleransi,” katanya. Menurut teori, culture shock memiliki empat fase yang jika digambarkan akan berbentuk kurva, yakni fase optimis, fase krisis, fase recovery dan fase penyesuaian. Dalam fase optimis, sang transmigran pasti memiliki euforia untuk melihat tempat baru dan menjalani kehidupan baru. Kemudian dilanjutkan dengan fase masalah kultural yang dimana mereka akan menemui sejumlah masalah, seperti perbedaan bahasa, budaya, tata tertib lalu lintas hingga sistem sekolah.
“Di fase bermasalah ini, perlu adanya pikiran yang terbuka dari orang-orang Jawa yang pindah ke Lampung itu. Biasanya, di fase ini muncul kemarahan dan kekecewaan. Ketika sudah kecewa, maka sedikit saja ada yang mengganggu pikiran, emosi gampang tersulut, konflik terjadi,” ungkap Ratih. Apabila fase krisis bisa dilewati, maka para kolonisten itu bisa mengalami recovery dan penyesuaian.

“Perlu campur tangan pemerintah juga, apalagi di fase krisis. Rasa aman harus dihadirkan oleh pemerintah agar transmigran bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Gampangnya, krisis itu kan muncul karena kurang berkomunikasi, ini yang harus diperhatikan,” imbuhnya.
Dr Christina Rochayati MSi

Senada dengan Ratih, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Yogyakarta, Dr Christina Rochayati MSi mengungkapkan shock culture yang dirasakan transmigran Jawa di Lampung berbeda dengan para mahasiswa luar daerah kuliah di Yogya. Menurut Christina, transmigran harus menerima keadaan di Lampung apa adanya.
"Mereka memang menginginkan kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, khususnya untuk keturunan mereka kelak. Jadi, apa yang ada ya diterima saja," ujarnya. Ia menambahkan sejak zaman dahulu, orang Jawa terkenal dengan sifat <I>nriman<P> atau mau menerima keadaan. Orang Jawa, lanjut Christina, juga memiliki kemampuan beradaptasi lebih cepat.

"Seperti dalam buku yang saya baca, orang yang berpindah tempat seperti orang jawa, akan membawa budayanya misal wayang yang nanti ketika dimainkan menggunakan bahasa Melayu atau bahasa daerahnya sana, karena mereka tidak mengerti bahasa Jawa," tuturnya lagi. Dari situ muncul juga asimilasi budaya. (Bunga Kartikasari)

0 komentar:

Posting Komentar