Program transmigrasi sejak zaman
kolonial memang berupaya untuk memerangi kemiskinan. Namun, perlu diketahui,
transmigrasi tersebut pasti memiliki dampak, khususnya psikologi bagi orang-orang
yang terlibat.
Menurut Ratih Anwar, SE, MSi, Pengamat
Budaya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), adanya
perpindahan sekelompok manusia satu ke daerah lain memiliki dampak cukup
signifikan di bidang psikologi. Para transmigran tentu mengalami apa yang
disebut shock culture atau gegar
budaya. Mereka yang hidup bergelimang kemudahan menjadi sulit beradaptasi
terhadap dunia baru.
“Gegar budaya memang kerap terjadi jika
ada perpindahan,” bukanya ketika berbincang dengan Vagabondia. Ia menjelaskan, transmigrasi umumnya juga dilakukan
dari tempat yang sudah maju, dari segi pemerintahan, ke tempat yang belum maju.
“Logikanya, kalau dari Jawa ke Lampung,
Jawa lebih banyak orang, maka program pemerintahan bisa lebih maju, ada
pembangunan. Berbeda dengan Lampung yang kala itu belum sepadat Jawa, maka
pembangunan belum banyak,” paparnya lagi. Dengan begitu, muncul gegar budaya,
yang biasanya mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, kini perlu bersusah
sedikit. Dari segi kebudayaan, lanjut Ratih, Jawa dengan Lampung cukup berbeda.
Maka, perlu adanya partisipasi aktif baik dari masyarakat Jawa yang pindah ke
Lampung atau masyarakat Lampung sendiri untuk membuat relasi sosial mereka
tidak mengalami banyak gesekan.
“Ya, kita tahu, Indonesia ini terbentuk
dari berbagai macam suku dan ras. Perbedaan itu harus diatasi dengan
toleransi,” katanya. Menurut teori, culture
shock memiliki empat fase yang jika digambarkan akan berbentuk kurva, yakni
fase optimis, fase krisis, fase recovery
dan fase penyesuaian. Dalam fase optimis, sang transmigran pasti memiliki
euforia untuk melihat tempat baru dan menjalani kehidupan baru. Kemudian
dilanjutkan dengan fase masalah kultural yang dimana mereka akan menemui
sejumlah masalah, seperti perbedaan bahasa, budaya, tata tertib lalu lintas
hingga sistem sekolah.
“Di fase bermasalah ini, perlu adanya
pikiran yang terbuka dari orang-orang Jawa yang pindah ke Lampung itu.
Biasanya, di fase ini muncul kemarahan dan kekecewaan. Ketika sudah kecewa,
maka sedikit saja ada yang mengganggu pikiran, emosi gampang tersulut, konflik
terjadi,” ungkap Ratih. Apabila fase krisis bisa dilewati, maka para kolonisten
itu bisa mengalami recovery dan
penyesuaian.
“Perlu campur tangan pemerintah juga, apalagi di fase
krisis. Rasa aman harus dihadirkan oleh pemerintah agar transmigran bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Gampangnya, krisis itu kan muncul
karena kurang berkomunikasi, ini yang harus diperhatikan,” imbuhnya.
Dr
Christina Rochayati MSi
Senada
dengan Ratih, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN)
'Veteran' Yogyakarta, Dr Christina Rochayati MSi mengungkapkan shock culture
yang dirasakan transmigran Jawa di Lampung berbeda dengan para mahasiswa luar
daerah kuliah di Yogya. Menurut Christina, transmigran harus menerima keadaan
di Lampung apa adanya.
"Mereka
memang menginginkan kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, khususnya untuk
keturunan mereka kelak. Jadi, apa yang ada ya diterima saja," ujarnya. Ia
menambahkan sejak zaman dahulu, orang Jawa terkenal dengan sifat
<I>nriman<P> atau mau menerima keadaan. Orang Jawa, lanjut
Christina, juga memiliki kemampuan beradaptasi lebih cepat.
"Seperti
dalam buku yang saya baca, orang yang berpindah tempat seperti orang jawa, akan
membawa budayanya misal wayang yang nanti ketika dimainkan menggunakan bahasa
Melayu atau bahasa daerahnya sana, karena mereka tidak mengerti bahasa
Jawa," tuturnya lagi. Dari situ muncul juga asimilasi budaya. (Bunga
Kartikasari)
0 komentar:
Posting Komentar