Kusmiantoro
Sumber foto : uwiknanda.blogspot.com |
“Rasa kepuasan membuat orang miskin adalah seseorang
yang kaya, sementara rasa ketidakpuasan membuat orang-orang kaya menjadi
seorang yang miskin”, kutipan dari Benjamin Franklin yang terpatri dijiwa
Kusmiantoro. Bukan keluhan yang selalu ia lontarkan. Namun, hanya tawa yang
menggerus dada ketika aroma semerbak dari tumpukan sampah raksasa melewati
indra penciumanya. Lelaki paruh baya bertubuh gempal itu sudah kebal dengan
bebauan khas Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan.
Keluhan Tak Bersuara
Tidak kurang dari 24 jam sehari lelaki perkasa berumur
49 tahun itu bersinggungan dengan sampah dan segala kegelisahannya. Pasalnya, gubuk
saksi dari perjuangannya berada tak lebih dari 20 meter dari TPST Piyungan.
Gubuk sederhana tersebut menjadi tempat bernaung istri dan empat buah hati dari
lelaki yang kerap dipanggil Kus itu. Sialnya, adanya TPST Piyungan berdampak
pula pada rusaknya kualitas air tanah daerah sekitar. Tidak nyaman ? itu pasti.
Namun apa daya, sudah 21 tahun TPST itu memaksa Kus dan keluarga kecilnya
menerima segala kepahitan tersebut.
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Piyungan merenggut
12,5 hektar lahan yang dahulu merupakan pekarangan rindang milik warga. Tanah
yang mulanya hijau, rindang, nan sejuk, kini menjadi sebuah bukit sampah
raksasa yang setiap harinya bertambah 500ton sampah tak bertuan. Bahkan
sekalgus menjadi tempat bermain dan mencari makan ratusan sapi ternak milik
warga. Sebuah realita yang memaksa keluarga kecil Kusmiantoro tersedak oleh
aroma sampah disetiap tarikan nafasnya.
Sebagai rakyat awam yang bahkan tidak meluluskan
pendidikan Sekolah Dasarnya, Kus hanya dapat pasrah dan menerima. Lelaki berumur
49 tahun itu justru mengubah TPST Piyungan menjadi mata pencaharian utamanya
sebagai pemulung. Bukan keinginannya, namun keadaan yang memaksa. Baginya,
tempat sampah ini adalah rezeki untuk keluarganya. Meski ketika mengatakannya
ia sembari menghirup udara yang penuh dengan jutaan penyakit.
“Mau bagaimana lagi, semua sudah
terlanjur seperti ini. Kami orang kecil hanya butuh diperdulikan saja
kesehatannya,” letup Kus sembari tertawa menghisap sebatang rokoknya.
Kantorku, Tempat Sampahmu
Ketika orang – orang dikota menggunakan setelan jas
dan sepatu bagus untuk bekerja, Kus cukup menggunakan sepatu boots lama
kesayangannya dan baju seadanya. Asalkan apa yang ia kenakan mampu meredam
panas terik matahari, itulah yang Kus gunakan memulung. Mulai beranjak dari
rumah saat fajar terbit, dan pulang ketika ufuk barat mulai menawarkan gelap
malam. Sahabat yang selalu menemaninya memulung ialah sebatang rokok kretek di
sela jari tengah dan telunjuknya.
Musim kemarau dan musim penghujan adalah musuh dari
pekerjaannya. Ya, memang kenyataannya segala yang ia kerjakan merupakan musuh
yang ia anggap sebagai sahabat. Saat musim kemarau menemani, panasnya terik
matahari serasa membakar kulit seorang Kus yang sedang mengais rezeki di bukit
sampah raksasa. Itupun masih ditambah dengan aroma limbah rumah tangga yang
menguap karena panas terhirup segar dihidung kuatnya. Penghujan, bukan pula
solusi dari segala kesengsaraanya, justru semakin mempersulit Kus untuk mencari
sampah – sampah favoritnya. Bebarengan dengan aroma khas sampah basah dan
kotoran sapi, pijakan untuk kaki kekarnya pun menjadi lumpur sampah yang sulit
diinjak. Menurut Kus, semua itu ialah cara Tuhan untuk mencoba umatnya dan
harus disyukuri.
Sulitnya bekerja tidak menjamin besarnya penghasilan.
Itulah yang lelaki dengan empat anak ini rasakan. Cucuran keringat, letih dan bau
dari tubuh gempalnya menjamin penghasilan yang pasti, dan tidak pernah bisa
diprediksi. Tujuan mulia seorang Kusmiantoro hanyalah dapat membuat dapur
rumahnya mengepul setiap hari dan dapat membiayai anaknya sekolah. Kus sendiri
tidak memiliki pengepul khusus, ia menjual hasil memulungnya kepada pengepul
yang berani membeli dengan harga terbaik pada hari itu.
Ancaman Sisi Kesehatan
Menurut Rafael, seorang mahasiswa
kesehatan yang sedang magang di kantor TPST Piyungan, tingkat kesehatan udara
di daerah Piyungan sangatlah rendah. Bukan hanya itu, kondisi tanah dan air
tanah semua tak layak pakai akibat tercemar tumpukan sampah. Hal-hal tersebut
mengakibatkan sisi kesehatan seluruh masyarakat sekitar Piyungan terancam bahaya.
Penyakit kulit dan pernafasan sudah siap menyambangi tubuh masyarakat setiap
detiknya.
Tentu, bekerja pula tak selamanya lancar, apalagi di
tempat sampah terbesar di DIY tersebut. Sakit sudah menjadi hal biasa untuk
Kus. Kebiasaan menghirup udara tidak sehat membuatnya memiliki gangguan
kesehatan pada organ pernafasannya. Tempat kotor yang menjadi tempatnya
bernaung setiap hari itu pun turut menyumbang penyakit kulit langganan di tubuh
gempal seorang Kusmiantoro. Hal tersebut bukan hanya Kus rasakan sendiri, namun
seluruh pekerja/pemulung dan warga sekitar TPST Piyungan turut menjadi korban.
Beruntung, dinas setempat yang awalnya menjamin seluruh kesehatan warga sekitar
TPST Piyungan, kini terkadang masih sudi untuk peduli terhadap kesehatan warga
Piyungan.
“Kami sudah tak masalah dengan adanya tempat sampah
ini, kami juga tidak masalah dengan segala ketidaknyamanan karena adanya ini.
Tapi, kami hanya berharap supaya pihak dinas memenuhi segala janji yang
diutarakan pada awal rencana pembuatan TPST ini. Kami butuh jaminan kesehatan,
kami hanyalah membutuhkan itu. Kasihan keluarga kami, tetangga kami, dan warga
sekitar TPST yang menjadi langganan penyakit”, ungkap Kusmiantoro sembari
memberikan tatapan kosong menuju bukit sampah.
Ya, Kusmiantoro hanyalah satu dari ratusan pemulung
lainnya di TPST Piyungan, dan dia pula hanya satu dari sekian banyak warga yang
bermukim di sekitar tempat tersebut. Namun, harapan dan keluh kesahnya
merupakan suara dari mayoritas pemulung dan warga setempat. Mereka hanya membutuhkan
kepedulian Pemerintah kepada nasib mereka. (krisnapms)
0 komentar:
Posting Komentar