Sejak dulu, kemiskinan memang tidak
pernah lepas dari faktor kepadatan penduduk. Di permulaan abad keduapuluh,
pemerintah Kolonial Belanda mulai menyadari hal tersebut, melihat lahan
pertanian di Jawa tidak lagi mampu menampung para pekerja. Atas gagasan sang
Ahli Hukum Belanda, Conrad Theodore van Deventer, tercetuslah tiga hal pokok
yang menjadi prinsip dasar kebijaksanaan pemerintah kolonial di Hindia-Belanda,
yakni pendidikan, irigasi dan imigrasi.
Orang-orang Jawa itu akhirnya bisa
mengarungi laut lepas, tidak lagi memandang debur-debur ombak yang menghiasi
Laut Kidul di selatan Jawa. November 1905, mereka mengikuti program yang
dinamakan ‘Kolonisasi’, berjalan ke Kota Betawi dan menumpang kapal dari
Tanjung Priok ke pelabuhan kecil di Teluk Betung. Bulan itu pula, pertama
kalinya mereka menginjakkan kaki di Sumatera, di daerah yang kala itu masih
termasuk dalam wilayah Karesidenan Lampung. Tercatat, ada 155 Kepala Keluarga
(KK) di Kedu, Jawa Tengah yang semuanya berasal dari golongan petani penggarap
dipindahkan ke daerah Gedong Tataan di Lampung.
Eko Sunu Sutrisno SE, Kepala Seksi
Pelayanan Museum Nasional Ketransmigrasian Lampung,
Kepala Seksi Pelayanan Museum Nasional
Ketransmigrasian Lampung, Eko Sunu Sutrisno SE menceritakan dari Teluk
Betung, ratusan orang Jawa itu berjalan kaki ke Gedong Tataan selama dua hari
tanpa menggunakan moda transportasi. Mereka bermalam di jalan, di sebuah lokasi
yang kini bernama Negeri Sakti.
“Total semuanya 155 KK yang berarti
jumlah transmigran mencapai 815 orang,” paparnya. Sesampainya di daerah yang
dituju, mereka tidak menyia-nyiakan waktu. Membuka lahan menjadi kegiatan utama
yang dilakukan agar kepentingan pemerintah Belanda terkait wilayah pertanian
cepat terpenuhi dan kebutuhan ekonomi keluarga melalui usaha bercocok tanam
tidak dapat lagi ditunda. Bermodal empat bola besi dengan diameter 50 cm,
lahan-lahan pertanian siap digarap setelah pohon-pohon dirobohkan.
Dalam pelaksanaannya selama masa
kolonial, program transmigrasi dibagi menjadi empat tahap, yakni 1905-1911,
1912-1922, 1923-1932 hingga yang terakhir 1932-1942. Menurut Eko, setelah
sukses memindahkan ratusan penduduk Jawa ke tanah Sumatera, pemerintah Kolonial
Belanda terus menggerakkan transmigrasi. Bergelombang-gelombang kolonisten, sebutan bagi para
transmigran di zaman itu, berdatangan ke Karesidenan Lampung. Menurut data
Museum Nasional Ketransmigrasian, tahun berikutnya ada 550 KK asal Banyumas
juga didatangkan, bersama dengan anggota keluarga yang dibawa, maka jumlah
mereka mencapai 2.795 jiwa.
Melihat kolonisten yang terus bertambah,
pemerintah Belanda mencari cara agar mereka betah dengan lingkungan baru.
Sebagai perangsang, setiap KK diberi premi 20 gulden, disediakan alat-alat
masak dan pertanian. Para transmigran juga diberi material untuk membangun
rumah dan bahan makanan untuk dua tahun. Tidak hanya itu, mereka turut diberi
keleluasaan untuk memberi nama wilayah yang ditempati sesuai dengan nama
wilayah sebelumnya, saat mereka masih di Jawa.
"Usaha pemerintah Belanda saat itu
cukup banyak agar transmigran merasa nyaman. Sebelumnya, mereka banyak yang enggak mau ke Sumatera karena khawatir
dengan binatang buas yang kerap menerkam warga sebagaimana yang diberitakan
media waktu itu. Jadi mereka dibebaskan ngasih
nama wilayah bahkan diberi sangu,"
lanjut Eko. Oleh karena itu, jangan kaget jika ada nama tempat persis dengan
daerah di Pulau Jawa, seperti Jepara di Kabupaten Lampung Timur, Wonosobo di
Kabupaten Tanggamus, Sukoharjo di Kabupaten Pringsewu dan masih banyak lagi.
Transmigrasi menjadi salah satu
peristiwa besar hasil gagasan pemerintah Belanda. Perpindahan ribuan masyarakat
Jawa ke Sumatera untuk mencari kehidupan yang lebih baik cukup menarik
perhatian sosiolog, sejarawan dan masyarakat biasa untuk meneliti atau sekedar
mengetahui asal-asul nenek moyang. Dilandasi hal tersebut, Pemerintah Provinsi
Lampung membangun sebuah landmark
yang kini bisa dinikmati masyarakat umum, yakni Museum Nasional
Ketransmigrasian.
Museum Nasional Ketransmigrasian
didirikan pada 12 Desember 2004 di Jalan Ahmad Yani, Desa Bagelen, Kecamatan
Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Bangunan yang penuh dengan
benda-benda bersejarah ini merupakan ide dari Prof Dr Ir Muhajir Utomo, yang
kala itu merupakan Penasihat Pusat Perhimpunan Anak Transmigran Republik
Indonesia (PATRI) dan juga Rektor Universitas Lampung. Museum ini sengaja
diresmikan pada tanggal tersebut karena bertepatan dengan Hari Bhakti
Transmigrasi ke 54. Kini, museum memiliki lebih dari 250 koleksi, diantaranya alat
pertukangan, alat rumah tangga, alat pertanian, peralatan dapur, alat kesenian,
alat penangkap ikan, foto-foto dokumentasi, pakaian adat dan musik serta masih
banyak lagi.
Bola besi besar yang berada di musium
Lampung
Salah satu yang menarik perhatian adalah
sebuah bola besi besar dengan diameter 50 cm. Bola yang juga diletakkan di
Museum Lampung itu merupakan alat untuk merobohkan pohon karet di wilayah
sekitar Bagelen. Itu juga termasuk fasilitas yang diberikan oleh pemerintah
Belanda dalam upayanya menarik perhatian lebih banyak masyarakat Jawa untuk
ikut program transmigrasi.
"Bola itu ditarik pakai mesin, yang
masih sederhana, enggak yang canggih,
buat ngehancurin pohon-pohon karet.
Pertama diisi air dulu sampai penuh, tutup, ditarik mesin, dibiarin saja biar gelinding," beber Eko. Ia
melanjutkan selain bola besi, ada juga gerobak sapi yang tidak hanya digunakan
untuk membajak sawah tetapi juga alat transportasi kolonisten. Berjalan ke
belakang bangunan, pengunjung museum akan mendapati berbagai bentuk rumah,
layaknya rumah di Jawa. Eko menuturkan bentuk-bentuk rumah, seperti anjungan
Yogyakarta, Jawa Barat, Suriname, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur termasuk usaha Belanda agar kolonisten mau menempati tanah Sumatera lebih
lama.
"Rumah-rumah ini dibuat seperti
rumahnya di Jawa dulu, biar kerasan,"
ucapnya.
Semakin lama, peserta transmigrasi
merasa nyaman di tempat baru. Era masa depan disambut dengan kesiapan. Kini,
cucu dan cicit mereka bisa menjadi bagian dalam sejarah bahwa pernah ada sebuah
program pemerintah kolonial yang memindahkan ratusan ribu orang sebagai upaya
menanggulangi kemiskinan. Mereka kemudian saling merekatkan relasi satu sama
lain, berusaha mencari saudara di tanah baru dan mendirikan organisasi bernama
Putera Jawa Keturunan Sumatera (Pujakesuma).
Muhaimin, Sekretaris Organisasi
Pujakesuma
“Pujakesuma ini sebenarnya diambil dari
nama kembang Wijaya Kesuma. Jadi tidak semata-mata putera jawa keturunan
sumatera, lahir dan besar di sini, tapi ada cerita dibalik itu,” ujar Suharli
Muhaimin, Sekretaris Organisasi Pujakesuma. Pertemuan di malam Selasa, lanjut
Suharli, membuahkan ide untuk membentuk satu organisasi yang awalnya tidak
diberi nama jelas. Namun, setelah melihat bunga Wijaya Kesuma yang tumbuh
begitu cantik, tercetuslah nama pujakesuma hingga kini.
“Awal terbentuknya juga bukan di sini,
tapi di Medan. Orang Jawa di Medan itu merasa termarjinalkan dengan istilah
‘Jawa Kontrak’ yang melekat pada diri mereka,” ceritanya lagi, Dari situ,
muncul gagasan mengenai pembuatan organisasi solid lengkap dengan Dewan
Pimpinan Cabang (DPC). Ia menambahkan jumlah anggota Pujakesuma kini cukup
banyak. Pasalnya, satu keluarga bisa menjadi anggota dan kini, era transmigrasi
telah melewati puluhan tahun. Tentu, keturunan transmigran golongan pertama
bisa ambil bagian dalam organisasi tersebut.
“Kami sering mengadakan acara. Gelaran
seni, wayang misalnya. Agar meningkatkan perekonomian warga. Dengan adanya
event, maka pedagang kecil bisa datang dan menikmati keuntungan,” pungkas
Suharli.